Kamis, 22 Januari 2009

Diamnya Para Pemimpin Arab Atas Gaza Adalah Memalukan


Pembantaian besar-besaran atas orang-orang yang kelaparan yang terperangkap dalam kegelapan adalah hal yang sangat memilukan bagi orang yang punya mata untuk melihat dan hati yang berdetak. Kejahatan yang kejam terhadap kemanusiaan ini harus dihentikan karena jika tidak, kita hanya bisa mengangkat tangan tanda putus asa dan menyerahkannya pada prinsip “kekuasaanlah yang benar.” Sebagai manusia, saya jijik oleh ketidakberdayaan atas apa yang disebut sebagai masyarakat internasional. Sebab sesungguhnya, segala undang-undang, konvensi, perjanjian internasional dan badan-badan internasional yang ada tampak tidak berdaya di hadapan agresi Israel yang tidak berperikemanusiaan itu. Sebagai seorang Arab, saya merasa marah dengan sikap diamnya para pemimpin negara-negara Arab dan pemerintahannya. Apakah orang Arab telah begitu lemah sehingga para pemimpin kami itu tidak bisa lagi menyatakan pendapat? Sentimen kemarahan kami tumpah ruah di jalanan tetapi hal itu tidak tercermin oleh pemerintahan Arab.
Ketika Menlu Israel Tzipi Livni ditanya apakah beberapa negara-negara Arab memberikan lampu hijau pada Israel untuk melancarkan serangan-nya di Gaza, ia ragu sebelum berkata, “negara-negara Arab moderat” berbagi tujuan dengan Israel untuk menghancurkan Hamas. Jika ada sebuah kebenaran dari pesan yang diberikannya maka keseluruhan negara Arab sedang dipecundang. Sejak kapan kata “moderat” diterjemahkan menjadi “pengecut?” Apakah untuk menjadi moderat berarti kita harus melepaskan hak-hak kita, meninggalkan keluarga (saudara-saudara) dan mencampakkan martabat kita? Apakah para pemimpin Arab itu lebih memilih permainan untuk saling menyalahkan daripada harus berdiri bahu membahu dengan para korban yang tidak berdaya menentang Presiden Mahmud Abbas yang menaiki sebuah tank Israel sambil melambaikan tangannya? Apakah kita layak mensejajarkan diri kita dengan para pahlawan seperti Umar bin Khattab, Khalid Bin Al-waleed, Ibnu-Zeyiad Tariq, Al-Mu’tassem Billah, Salahuddin atau orang-orang yang berani kehilangan nyawanya pada perang tahun 1948, 1967 dan 1973 untuk membela tanah Arab dan kehormatannya? Mereka harus kembali ke liang kubur mereka. Kita tidak layak menuntut kehormatan jika kita tidak menghormati diri kita dan sejarah kita sendiri.
Penolakkan para pemimpin Arab untuk menghadiri pertemuan puncak Arab serta mengusir duta besar Israel atau memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Yahudi - semua itu adalah hal sangat minimal yang seharusnya mereka lakukan. Saya bukanlah seorang penggemar Hamas atau ideologinya. Saya percaya pada sebuah otoritas Palestina, namun serangan yang terjadi sekarang ini berada di luar politik. Ada sikap moral yang jauh lebih penting yang harus dihormati. Jika Anda menemui sebuah rumah yang sedang terbakar yang penuh dengan perempuan dan anak-anak, apakah Anda akan menayakan terlebih dulu afiliasi politik mereka atau menghilangkan ketakutan mereka sebelum anda menyelamatkan mereka? Saya tidak tahan bagaimana Barat bisa sangat toleran dan paham ketika mereka datang untuk memeriksa berkas-berkas nuklir Iran, sementara mereka pura-pura tuli, bisu dan buta pada hal yang merupakan sumber permasalahan Arab. Iran saja, yang rakyatnya miskin dan ekonominya buruk, dapat mendikte komunitas internasional, sementara kita yang lebih kaya, lebih banyak penduduknya, dan terletak lebih strategis dan secara historis adalah orang-arab yang kaya, sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun..
Setiap jam angka kematian meningkat dan dan kesengsaraan bertambah. Sampai saat ini, lebih dari 760 Palestina mati dan hampir 3.000 yang terluka. Gedung-gedung Parlemen Gaza, gedung-gedung kementerian, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, universitas-universitas dan bahkan ambulan-ambulan telah menjadi target dari daftar yang dibuat Israel yakni untuk memusnahkan “infrastuktur Hamas,” menurut sebuah sumber mesin propaganda Israel. Dalam suatu hubungan masyarakat yang dilakukan dengan sinis, para pilot Israel menjatuhkan banyak selebaran peringatan yang memperingatkan penduduk sipil agar meninggalkan rumah mereka jika mereka tahu ada peluncur roket yang tersembunyi di dekat bangunan mereka. Tapi di wilayah yang sedemikian kecil, dan padat penduduk itu tidak ada tempat untuk berlari , tidak ada gunung-gunung atau gua-gua, tidak ada tempat perlindungan dari bom dan tidak ada basement. Rumah sakit-rumah sakit mereka yang telah lama kehabisan obat-obatan sejak lama dan tidak dapat lagi menanggulangi begitu banyak pasien yang datang dengan tubuh-tubuh yang rusak, dan sebentar saja mereka sudah kehabisan bahan bakar untuk generator, yang berarti bayi-bayi yang lahir prematur akan mati. Orang-orang antri berjam-jam hanya untuk beberapa potong roti; perempuan-perempuan harus mengumpulkan ranting-ranting pohon hanya untuk membuat teh, anak-anak menjadi trauma dan tidak bisa tidur, khawatir kalau ada rudal yang akan menghancurkan rumah mereka dan lewat di atas kepala mereka. Tapi tidak ada satu kekuatanpun yang diperhitungkan yang mau mendengarkan dan mau merubah.
Sabtu lalu, Dewan Keamanan PBB melakukan pertemuan darurat tapi seperti bisa diduga, Amerika menolak suatu kesepakatan bersama yang menyerukan dilakukannya gencatan senjata. Presiden George W. Bush telah membuat pendiriannya yang jelas: Situasi ini seluruhnya adalah kesalahan Hamas. Presiden terpilih Barack Obama, yang dalam masa kampanye mendengungkan “perubahan”, tetap tidak bersuara. Tidak peduli siapapun presidennya, kebijakan Amerika di Timur Tengah tampaknya akan tetap sama. Demikian pula, Uni Eropa telah menunjukkan bahwa dirinya tidak bergigi. Presiden Ceko yang baru menggambarkan serangan yang dilakukan Israel itu sebagai tindakan “defensive” dan bukan “offensive”. Ketika serangan dengan kekuatan penuh dan dengan tangan dingin dilakukan oleh militer yang paling kuat di wilayah untuk membunuh penuh para penduduk yang tidak berdosa dari arah darat, laut dan udara maka ini tidak bisa dikatakan lagi sebagai “pertahanan diri” dengan imajinasi apapun yang bisa tergambar. Penduduk Gaza yang berani, yang telah mampu untuk bertahan selama 18 bulan pengepungan dan yang pada saat ini tertawan oleh suara menakutkan dari pesawat-pesawat tempur F16, helicopter, suara gemuruh bom, rudal dan gempuran tank, berteriak meminta pertolongan. Mereka tidak ingin kata-kata manis, pidato-pidato hebat atau bahkan barisan demonstrasi yang dilakukan dengan maksud baik. Mereka menginginkan diakhirinya penderitaan mereka dan pemenjaraan diri mereka. Seperti kita juga, mereka hanya ingin hidup. Jika orang Arab memalingkan wajah-wajah mereka dari permohonan yang bernada putus asa itu, maka lebih baik kita isi saja kantung baju kita dengan koin-koin uang, kita isi hati kita dengan batu dan sebut diri kita sendiri sebagai orang Israel karena kita adalah orang-orang yang patut dicela sebagaimana yang mereka lakukan karena kehancuran Gaza….dan akhirnya kehancuran diri kita sendiri.

Tidak ada komentar: